Beranda | Artikel
Hakikat Kalimat Tauhid [Bagian 6]
Jumat, 8 Februari 2013

Doa Intisari Ibadah

Intisari ibadah adalah doa/permintaan. Tidaklah seorang hamba melakukan suatu bentuk ibadah melainkan dia mengharapkan pahala dan keselamatan dari siksa. Ini artinya secara lisanul hal itu menunjukkan bahwa apa yang dia lakukan sebenarnya juga mengandung doa/permintaan. Adakalanya perbuatan (amal ibadah) itu juga disertai doa dengan lisannya, dan adakalanya tidak disertai doa/permohonan (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/162] cet. Maktabah al-Ilmu, lihat juga al-Mujalla fi Syarh al-Qawa’id al-Mutsla, hal. 37)

Dari an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa adalah intisari ibadah.” Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya), “Rabbmu berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku kabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk ke dalam Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir: 60) (HR. Tirmidzi dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani)

Dalam hadits yang lain, dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Seutama-utama ibadah adalah doa.” Lalu beliau membaca ayat (yang artinya), “Rabbmu berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku kabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk ke dalam Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir: 60) (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak)

Oleh sebab itu kita dapati banyak perintah untuk berdoa kepada Allah dan larangan untuk berdoa kepada selain Allah, yang pada hakikatnya itu juga mencakup perintah beribadah kepada Allah dan larangan beribadah kepada selain-Nya.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah maka janganlah kalian berdoa kepada siapapun bersama -doa kalian kepada- Allah.”(QS. al-Jin: 18). Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah menjelaskan, “Artinya janganlah kalian beribadah kepada siapapun selain kepada-Nya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 15)

Berdoa kepada selain Allah bahkan termasuk perbuatan kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang berdoa kepada sesembahan lain disamping doanya kepada Allah yang itu jelas tidak ada keterangan/pembenar atasnya, maka sesungguhnya hisabnya ada di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.”(QS. al-Mukminun: 117). Yang dimaksud dengan doa dalam ayat ini adalah ibadah (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [5/367] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)

Tidak ada kesesatan yang lebih buruk daripada kesesatan orang yang berdoa dan bergantung kepada selain Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang berdoa (beribadah) kepada selain Allah, sesuatu yang tidak bisa memenuhi keinginannya hingga hari kiamat. Sementara mereka itu lalai dari doa yang dipanjatkan kepada mereka. Tatkala umat manusia dikumpulkan -di hari kiamat- maka sesembahan mereka itu justru menjadi musuh mereka. Dan mereka sendiri mengingkari peribadahan yang ditujukan kepada dirinya.” (QS. al-Ahqaf: 5-6)

Syirik Kezaliman Terbesar

Berdoa/beribadah kepada selain Allah merupakan suatu bentuk kezaliman. Karena selain Allah tidak menguasai manfaat ataupun madharat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu berdoa kepada selain Allah, sesuatu yang jelas tidak kuasa memberikan manfaat dan madharat kepadamu. Kalau kamu tetap melakukannya maka kamu benar-benar termasuk orang yang berbuat zalim.” (QS. Yunus: 106). Imam Abul Qasim al-Qusyairi rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud doa di dalam ayat ini adalah ibadah (lihat Fath al-Bari [11/107] cet. Dar al-Hadits)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan yang jelas dan Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca agar umat manusia menegakkan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)

Ibnul Qayyim berkata, “Allah subhanahu mengabarkan bahwasanya Dia telah mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya supaya umat manusia menegakkan timbangan (al-Qisth) yaitu keadilan. Diantara bentuk keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok keadilan dan pilar penegaknya. Adapun syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman yang paling zalim, dan tauhid merupakan bentuk keadilan yang paling adil.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)

Beliau juga berkata, “Sesungguhnya orang musyrik adalah orang yang paling bodoh tentang Allah. Tatkala dia menjadikan makhluk sebagai sesembahan tandingan bagi-Nya. Itu merupakan puncak kebodohan terhadap-Nya, sebagaimana hal itu merupakan puncak kezaliman dirinya. Sebenarnya orang musyrik tidaklah menzalimi Rabbnya. Karena sesungguhnya yang dia zalimi adalah dirinya sendiri.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah.” (QS. al-An’aam: 82)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata: Ketika turun ayat “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (yaitu syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah.” (QS. al-An’aam: 82). Maka, hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun mengadu, “Siapakah diantara kami ini yang tidak menzalimi dirinya sendiri?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak seperti yang kalian sangka. Sesungguhnya yang dimaksud adalah seperti yang dikatakan Luqman kepada anaknya, “Hai anakku, janganlah kamu berbuat syirik. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.”(QS. Luqman: 13).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Setiap perilaku maksiat dan penyimpangan yang dilakukan seorang hamba, pasti akan menghasilkan dampak buruk yang membahayakan, minimal kepada diri mereka para pelakunya sendiri. Apalagi jika kemaksiatan dan penyimpangan itu merupakan sesuatu yang paling dibenci oleh Allah, yakni mempersekutukan-Nya dengan segala sesuatu yang diciptakan-Nya. Tentunya kemurkaan Allah melebihi kemurkaan yang disebabkan kemaksiatan dan kezhaliman lain dari seorang manusia yang masih mungkin dimaklumi dan diampuni-Nya (lihat Bahaya..!!! Tradisi Kemusyrikan Di Sekitar Kita karya H. Willyuddin A.R. Dhani, S.Pd. Hal. 13 penerbit Abu Hanifah Publishing cet. I, 2007)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan syirik itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa’: 48).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan olehnya)

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, niscaya dia masuk ke dalam neraka.” Dan aku -Ibnu Mas’ud- berkata, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti akan masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keluasan Cakupan Makna Ibadah

Sebagaimana sudah diterangkan di depan, bahwa makna kalimat tauhid ini adalah keyakinan bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah. Dengan demikian ibadah apa saja -lahir maupun batin- hanya boleh dipersembahkan kepada Allah, tidak kepada selain-Nya. Dari sinilah sangat penting bagi kita untuk kemudian memahami apa saja perkara yang termasuk dalam cakupan ibadah; sehingga kita bisa mengikhlaskannya untuk Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dalam ibadah dengan sesuatu apapun.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Maknanya adalah, “Kecuali supaya mereka mentauhidkan diri-Ku.” Orang beriman mentauhidkan Allah pada saat sempit maupun lapang. Adapun orang kafir hanya mentauhidkan Allah pada keadaan terjepit dan tertimpa kesusahan (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 1236)

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Makna ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku- adalah agar mereka mengesakan Aku (Allah, pent) dalam beribadah. Atau dengan ungkapan lain ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ maksudnya adalah agar mereka mentauhidkan Aku; karena tauhid dan ibadah itu adalah sama (tidak bisa dipisahkan, pent).” (lihat I’anat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/33])

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyimpulkan bahwa makna ayat di atas adalah, “Sesungguhnya Aku menciptakan mereka tidak lain untuk Aku perintahkan mereka beribadah kepada-Ku, bukan karena kebutuhan-Ku kepada mereka.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-Azhim [7/425])

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Dia (Allah) tidaklah membutuhkan ibadahmu. Seandainya kamu kafir maka kerajaan Allah tidak akan berkurang. Bahkan, kamulah yang membutuhkan diri-Nya. Kamulah yang memerlukan ibadah itu. Salah satu bentuk kasih sayang Allah adalah dengan memerintahkanmu beribadah kepada-Nya demi kemaslahatan dirimu sendiri. Jika kamu beribadah kepada-Nya, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan memuliakanmu dengan balasan dan pahala. Ibadah menjadi sebab Allah memuliakan kedudukanmu di dunia dan di akherat. Jadi, siapakah yang memetik manfaat dari ibadah? Yang memetik manfaat dari ibadah adalah hamba. Adapun Allah jalla wa ‘ala, Dia tidak membutuhkan makhluk-Nya.”(lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 15-16)

Ibadah juga terkadang ditafsirkan oleh para ulama dengan tauhid; sebab ia merupakan syarat utamanya. Sebagaimana dalam riwayat yang dibawakan Imam Ibnu Katsir dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai maksud firman Allah (yang artinya), “Wahai umat manusia, beribadahlah kepada Rabb kalian.” (QS. al-Baqarah: 21). Beliau menjelaskan, “Artinya tauhidkanlah Rabb kalian…” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/75])

Ibadah pada asalnya mengandung makna perendahan diri, akan tetapi ibadah yang diperintahkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah suatu bentuk perendahan diri yang paling tinggi kepada Allah dengan disertai puncak rasa cinta kepada-Nya. Seorang yang menundukkan dirinya kepada orang lain namun menyimpan rasa benci kepadanya tidaklah dianggap beribadah kepadanya. Demikian juga orang yang mencintai seseorang namun tidak menundukkan diri kepadanya pun tidak dikatakan beribadah kepadanya. Oleh sebab itu kedua pilar ibadah tersebut -yaitu perendahan diri dan puncak kecintaan- itu harus selalu ada dalam menjalani ibadah kepada Allah. Bahkan Allah harus lebih dicintainya daripada segala sesuatu dan menjadi sosok yang paling agung daripada segala-galanya. Bahkan, tidaklah berhak untuk mendapatkan rasa cinta dan ketundukan yang sempurna kecuali Allah semata. Segala sesuatu yang dicintai bukan karena Allah maka kecintaannya adalah kecintaan yang rusak/tidak sah. Begitu pula tidaklah sesuatu selain Allah diagung-agungkan tanpa perintah dari-Nya melainkan pengagungan itu adalah sebuah kebatilan (lihat al-‘Ubudiyah, hal. 12)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah memberikan sebuah definisi yang cukup bagus, bahwa ibadah merupakan perendahan diri kepada Allah yang dilandasi rasa cinta dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan dalam syari’at-Nya (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 23 cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Menurut pengertian syari’at ibadah itu adalah suatu ungkapan yang memadukan antara kesempurnaan rasa cinta, ketundukan, dan rasa takut.”(lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/34] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Ibadah merupakan sebuah istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan dan perbuatan, yang batin maupun lahir. Ini artinya sholat, zakat, puasa, haji, jujur dalam berbicara, menunaikan amanat, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang ma’ruf, melarang yang mungkar, berjihad memerangi orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, maupun kepemilikan dari kalangan manusia (budak) atau binatang piaraan, berdoa, berdzikir, membaca al-Qur’an, dan lain sebagainya itu semua adalah ibadah. Demikian juga kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya, rasa takut kepada Allah, inabah kepada-Nya, mengikhlaskan agama untuk-Nya, bersabar menghadapi ketetapan-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, ridha dengan takdir-Nya, bertawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat-Nya, takut kepada azab-Nya, dan semisalnya [itu semua juga] termasuk ibadah kepada Allah.”(lihat al-‘Ubudiyah, hal. 6 cet. Maktabah al-Balagh)

Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah menerangkan, “Dengan ungkapan lain, dapat dikatakan bahwa ibadah adalah melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Tercakup di dalamnya menunaikan kewajiban-kewajiban dan menjauhkan diri dari berbagai hal yang diharamkan. Melakukan hal-hal yang wajib dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan; yaitu dengan melakukan kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang bersifat batin maupun lahir. Meninggalkan hal-hal yang diharamkan, baik yang berupa ucapan maupun perbuatan, yang batin maupun yang lahir.” (lihat Syarh al-‘Ubudiyah, hal. 5)

Dengan ungkapan yang lebih sederhana, dapat disimpulkan bahwa ibadah adalah melakukan segala sesuatu yang membuat Allah subhanahu wa ta’ala ridha (lihat al-Qamus al-Mubin fi Ishthilahat al-Ushuliyyin karya Dr. Mahmud Hamid ‘Utsman, hal. 204)


Artikel asli: http://abumushlih.com/hakikat-kalimat-tauhid-bagian-6.html/